Ganting, adakah yang tahu itu dimana? jikalau kawan tinggal disekitaran kota Padang, haruslah tahu tempat ini. Asrama yang diisi oleh Tentara (tentu saja!) serta keluarga dan anak-anaknya, yang hidup berdampingan dalam satu komunitas dengan nuansa keABRIan sangat kentara. maka siapapun hendak lewat apalagi kepingin mencuri, mestilah berpikir dua kali.
untungnya (atau celakanya), Saya dibesarkan disana, tempat markasnya para baju loreng yang kemudian menginduksi anak mereka melalui pendidikan sedikit keras hingga menelorkan generasi mental baja dengan efek samping: kenakalan maha dahsyat.
Saya tentunya bukan bagian dari kenakalan tersebut, cuma yaa....sedikit ikut-ikutan saja :D. kami pindah ke Ganting pada tahun 1994, saya memasuki kelas 4 SD, saat itu Papa dan Mama sedang dalam tahap menjalani hidup mandiri sebagai keluarga. baru kini, setelah Saya berkeluarga, Saya begitu salut dengan langkah beliau. benar, untuk melakukan itu butuh keberanian dan tekad. apalagi dengan modal seadanya, dan anak dua masih kecil-kecil (saya dan adik kedua), maka kami sekeluarga berlabuh disana.
awal kepindahan kami, sungguh penuh dengan dilema. bagaimana tidak, rumah ini sungguh kecil dan pas-pasan. hanya lurus memanjang kebelakang dan disekat kecil-kecil pada tiap ruangannya. atapnya sangat tinggi, karena rumah itu konon dibangun berpuluh tahun lalu. kalau tidak salah ada penyekat tembok sejumlah 4 pada ruang memanjang itu, sehingga memisah antara ruang tamu, ruang tivi sekaligus kasur tidur, ruang untuk tidur bagi orangtua kami, dan kamar mandi serta dapur. dilema ini kian berlanjut karena di Ganting tidak dikenal istilah toilet pribadi: tempat orang buang hajat, dan yang disediakan hanyalah kamar mandi merangkap tempat cuci pakaian. serta toilet umum sejarak 5 menit yang sudah rusak dan kotor amat sangat. Saya ketika itu masih kecil, 4 SD, bahkan tak cepat bergaul dengan komunitas baru.
lambat laun, pergaulan yang tadinya terdapat jurang, melunak juga seiring dengan berjalannya waktu. Saya pun akhirnya tidak melulu menutup diri bermain dirumah, sedikit-sedikit mulai punya teman: di mesjid, di sebelah rumah, hingga akhirnya di seberang komplek.
dari sini saya mengenal bahwa di Ganting ini terdapat banyak musim. tidak hanya musim hujan dan panas, namun ada pula musim kelereng, musim layangan, musim kotak rokok (seni melipat bungkus rokok yang kemudian memiliki value berdasarkan kelangkaan jenis rokok tersebut), hingga musim tutup botol limun (menggepengkan tutup minuman soda hingga tutup kecap bango).
Suatu ketika, musim layangan sedang menjadi-jadi di Padang. jika menatap langit, maka burung kalah banyak dibanding layangan. agaknya hampir semua teman seumuran saya memiliki layangan, mulai dari yang murahan hingga layangan mahal yang bisa bersuara (layang danguang). saya lupa kapan, tapi kala itu ada pertandingan adu layangan lumayan besar di Terandam (asrama tentara seberang). yang mana, apabila layangan itu kalah dan putus benang, maka ke Ganting lah muara jatuhnya. dan ada aturan tak tertulis untuk itu: barangsiapa yang menemukan layang putus itu, maka hak milik jatuh kepadanya, kecuali ada sejumlah tebusan sebagai upah kejar layangan.
oleh karena itu, saya dan beberapa anak-anak seumuran sudah siap sedia menanti di lapangan depan mesjid untuk melihat-lihat progress pertandingan itu. lapangan depan mesjid memiliki jarak pandang cukup luas. dan kali-kali ada satu layangan yang putus, maka kami akan mengejarnya. masalah siapa yang dapat duluan, itu urusan belakangan...
berdasarkan info dari biaya tebusan untuk layangan itu biasanya cukup besar: sekitar 3 ribu sampai 10 ribu (dulu lumayan besar). maka kami, gerombolan pengejar layangan ini telah standby dengan sebuah tongkat bambu kayu, sepeda jika ada, dan sendal yang cukup sehat, karena sungguh tidak lucu jika saat adegan kejar-kejar layangan, sendalnya malah putus.
ada kiranya kami menunggu sepanjang siang hanya demi melihat layangan mana yang putus benang sambil mendengar cerita-cerita seru tentang ksatria baja hitam dan winspector yang dulu lumayan tenar seantero teman-teman saya. obrolan film habis, berlanjut pula pada koleksi tazos teman saya yang sudah menggunung dan selalu ia bawa kemanapun pergi. karena dulu punya tazos itu sangat kaya. artinya si empunya sering beli chiki atau chitato yang harganya mahal bagi kami..
koleksi tazos pun habis dipameri. namun layangan ini tak kunjung putus jua...
lama tiada kepastian, akhirnya saya memutuskan untuk kembali kerumah sambil minum segelas dua air.
tapi memang pucuk jua yang dicinta, entah bagaimana ceritanya, ketika saya telah jauh meninggalkan gerombolan itu. tiba-tiba saja beramai-ramai orang berlari kearah saya.
dalam hati saya berpikir, apa kah ada sesuatu yang ketinggalan disana? tapi agaknya mereka terlalu baik untuk mengembalikan kepunyaan saya. maka pikiran saya otomatis mencari jawaban alternatif.
dan sekonyong-konyong saya lihat kearah langit yang ternyata telah tertutup oleh layangan selebar tangan saya. saya kaget bukan kepalang. ini namanya durian runtuh..
hanya beberapa senti diatas saya, benang nilon layangan itu pasrah jatuh kebawah, gravitasi ambil bagian. saya pun dengan cekatan melompat lantas menarik benang itu.
sungguh luar biasa...ada kepuasan sendiri ketika sebuah layangan tepat jatuh didepan anda, sementara orang-orang lain berkejaran dibelakang hendak memperebutkannya..
maka ketika benang layangan itu telah stabil, saya tarik cepat-cepat hingga layangan itu berada ditangan saya, utuh. dan apalagi yang dipikiran saya, selain juga ikut lari...
karena jika masih tetap dilokasi, niscaya akan ada amuk masa untuk sekedar merobek atau mematahkan bambunya. prinsipnya, jika bukan mereka yang dapat, setidaknya value barang tersebut berkurang, atau rusak sama sekali :D.
ya..saya lari kerumah, lantas menutup pagar rumah..
saya berusaha mengamankan barang tanpa hak milik itu.
===
beberapa hari setelahnya, datanglah dua orang berkendara motor astrea hitam kedepan rumah saya...usut punya usut ternyata mereka hendak menebus layangan itu. dengan senang hati saya menerima uang tebusan senilai 1000 rupiah karena saya masih demikian kecil dan dikasih 1000 saja sudah senang. pikir saya, itu sudah cukup untuk main dingdong street fighter sepuluh kali.
jadi, pada akhirnya...saya mulai berpikir mungkin saya memang tidak terlalu nakal ketika kecil..ya kan??
No comments:
Post a Comment