“daeng saja lah pak haji, dia sudah pernah membantu saya menyelesaikan tegel rumah, luar biasa. Kerjanya cepat pak haji” argumen pak ramlan pria beranak tiga itu ketika sedang rembuk pembangunan mushala.
“jangan cepat-cepat ambil keputusan, kita timbang dulu baik buruknya” sambut pak haji bardi dengan bijak, beliau selain orang yang dituakan, juga cukup cerna dalam melihat soalan warga. “si daeng tarifnya murah pak haji, dan kerjanya tidak ngoyo” kali ini cak muslih memberi pendapat, setelah dia menyewa jasa daeng untuk menyelesaikan rumahnya, pengalaman cak muslih sebelumnya menyewa buruh harian mengakibatkan rumahnya tak kunjung selesai, belum lagi kerja tukangnya yang tidak keruan..
Pak haji bardi mengangkat sebelah kaki kanannya yang kesemutan, dalam lingkaran kecil warga yang bersila duduk di beranda rumahnya. “ya sudah, kalau memang tidak ada yang keberatan, besok kita suruh daeng bekerja”..serempak warga bergumam “alhamdulillah”, sebagai ungkapan persetujuan mereka terhadap daeng, dan tentunya sebagai kabar gembira bahwasanya dikampung kecil mereka, akan dibangun mushala simbol rumah Tuhan, mereka pun tak perlu lagi repot berjalan kaki 2 kilo untuk solat tarawih dibulan ramadhan yang akan datang, yaitu 32 hari hitungan mundur dari kini. Pak haji dan dua warga malam itu juga menemui daeng untuk menanyakan kesediaannya. Daeng menerima meski hanya dibayar 1 juta saja, dengan sedikit thausiah pak haji bahwa pahala daeng akan jauh lebih besar ketimbang uang yang diterima ini.
Pak haji kembali kerumah dengan amanah warga: uang pembangunan mesjid yang telah terkumpul sebanyak 35 juta rupiah dan surat tanah wakaf dari pak jujun, juragan daging sapi. Cukuplah untuk rumah ibadah alakadarnya.
Malam hilang subuh menjelang, belum lagi azan menghimbau dengan pengeras suara di masjid sebelah, daeng sudah siap dengan perkakas kerjanya. Cangkul, gergaji, palu, dan kampak untuk memotong kayu sudah sedia siap digunakan. Daeng berjalan melintas rumput pendek sepanjang lokasi mushala. Tanpa babibu, bunyi palu bertalu-talu sebelum matahari menjamu. Pak haji bardi membuka pintu rumah dengan iringan bunyi kampak menebas kayu. “Alhamdulillah, jadi juga mushala kita” seru pak haji sambil berjalan mendekati lokasi pembuatan mushala yang berseberangan dari rumah beliau.
“assalamualaikum daeng”, tanya pak haji, “alaikum salam” jawab daeng yang masih konsen dengan pekerjaannya. “kisanak bersemangat sekali telah datang subuh kemari, padahal gambar mushala baru hedak saya beri siang ini” pak haji berkalimat sembari mengibaskan kain sarungnya. “hanya mencicil pak haji”, jawab daeng, kali ini sambil menggerus kayu fondasi. “tak guna jika hanya tidur sementara kerja sudah dipeluput mata” terdengar nada sedikit sinis dari kalimat daeng. Pak haji sedikit bergidik mendengarnya, barangkali dia tidak suka diganggu ketika bekerja, pikir pak haji. kemudian beliau memutuskan untuk berbalik badan “baguslah kalau kisanak begitu, baiklah saya percayakan pembangunan mesjid ini pada kisanak, assalamualaikum”.. pak haji berlalu sambil menunggu jawaban daeng membalas salamnya. Tapi daeng diam saja…
***
Genap sudah 7 hari menjelang ramadhan kala itu, mushala pun hampir selesai dibangun, tinggal menunggu pemasangan seng saja untuk menutupi atapnya. Namun tak membuat semangat warga sirna untuk beribadah pertama kali kesana, antusias itu terjawab ketika pertama kali pak haji mengeluarkan tape compo serta mic sederhana untuk mengkumandangkan azan zuhur. Tak ayal, azan pertama itu sangat mengharukan, pak haji sampai terisak karena merasa menjadi bagian dalam pembangunan rumah tuhan itu. sela antara azan dan iqamat telah mengumpulkan hampir semua warga kampung tunggul untuk berjamaah bersama-sama. Dalam sela itu, setelah solat sunah menjelang zuhur, pak haji memalingkan sebentar mukanya mencari daeng. Tak nampak muka hitam tukang pembuat mushala itu oleh beliau, akhirnya disuruh pemuda dua bernama sadar dan upin untuk mengajak daeng solat bersama. Belum lama mereka pergi, daeng kemudian masuk kedalam mushala dengan muka basah bekas wudhu, dan melaksanakan solat sunah, berkali-kali ia melakukan itu. Pak haji mengangguk kepada majelis pertanda bahwa akan dilaksanakan solat, bertepatan dengan tahiyatul akhir daeng. Dan solat berjamaah terlaksana…
Diluar dugaan semua fihak, dua hari menjelang puasa ternyata mushala yang di elu-elukan warga selesai juga, lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Daeng ikut disenangi warga karena semangatnya yang luar biasa dalam bekerja dan dia tidak pernah ketinggalan solat berjamaah, itu poin tersendiri dimata pak haji. wargapun sering mendapatinya berdiam diri cukup lama sambil membaca buku berjudul “kiamat semakin dekat” atau tertidur dengan hadits ditangannya. Pak haji bahkan pernah bertanya pada daeng, “apa yang ada dipikiran kisanak melihat buku itu, tak hendak membacanya..”, daeng hanya tersenyum dan kemudian pergi mengambil gergajinya. Pak haji tersenyum melihat daeng, mengimani rukun islam dengan baik ternyata lelaki ini, pikirnya. Terbersit di benak pak haji untuk menyuruh daeng tinggal dimushala saja menjadi gharin, daripada dia tinggal digibuk jelek miliknya sebatang kara.
Maghrib sudah mendekati waktunya hari itu, warga kampung tunggul tidak luntur semangatnya dalam berjamaah, mushala hasil jerih sumbangsih mereka sudah bisa digunakan dengan semestinya. Rencananya malam ini akan dilakukan sedikit thausiah oleh pak haji bardi, kemudian dilanjutkan sukuran mushala yang akan diberi nama al-islam, terakhir penjelasan perihal dana pembangunan mesjid beserta pembayaran upah daeng sendiri.
Isya selesai, doa selesai, pak haji sedikit beringsut kebelakang dan berputar badan dari tempat ia mengimami solat, beliau kini menghadap warga, hampir semuanya turut hadir, karena kampung ini diisi oleh umat islam seluruhnya, maka tampak semarak malam itu, umat penuh hingga keluar mushala, anak-anak berhimpit-himpt mengintip dari jendela mushala, ramainya seperti acara pernikahan pangeran minang saja.
“amma ba’du, selesai juga mushala kita ini hai majelis kampung tunggul... kita memang bukan orang kaya, tapi atas rahmatNya kita kini bisa punya tempat ibadah, Allah SWT pula lah yang berkehendak, maka tak boleh lepas kalimat syukur semestinya dari mulut kita ini”… serempak warga berseru “Alhamdulillah”..
sambutan pak haji benar-benar membara, jika ada yang melihat pidato sukarno kala kemerdekaan, maka hanya selisih 1 angka nilainya dari sambutan pak haji bardi. Acara berlangsung dengan khidmat, sembari sekali-kali semua warga mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Akhirnya tiba juga di penghujung acara malam meriah itu, acara diakhiri dengan penyerahan amplop upah berisi uang 1 juta untuk daeng, serta tawaran ikhlas dari pak haji untuk menjadi gharin mushala al-islam. Dan untuk memberikan penghormatan atas kerja daeng, pak haji tidak keberatan memberikan amplop termaksud langsung kepada nya didepan umat.
“ barangkali Allah SWT memudahkan umatnya! melalui sesama muslim juga kita telah dibantu dalam membangun mushala kita ini. Umat yang kami muliakan, kita pantas pula berterima kasih kepada daeng yang sudah membantu kita menyelesaikan rumah Tuhan ini, hanya Allah SWT yang kelak bisa membalas jasanya.” Pak haji bertaklimat, diiringi dengan senyum cerah semua warga, semua bahagia dengan keberadaan mushala kecil itu.
“Kisanak, silahkan kemari” pak haji memanggil daeng. Daeng beringsut pelan menembus shaf yang mengisi mushala itu, daeng berpakaian rapi, dan menggunakan peci putih beserta tasbih putih ditangannya. Pak haji mengangguk melihat daeng, seolah ingin mengatakan “benar-benar tepat pakaian mu kisanak”.
Daeng telah menembus berisan shaf duduk warga dan kini bersila disamping pak haji bardi. Pak haji dan majelis diam sejenak ingin mendengar sepatah kata dari daeng. Bibir daeng mulai bergerak “ salam alaika, kaum muslimin dan muslimat, Alhamdulillah saya ucapkan atas berdirinya mushala kita ini, dan saya senang pula bekerja membangun rumah ini. Tak lupa saya ucapkan bahwa ini merupakan bagian dari pesan yang disampaikan Allah kepada saya, bahwasanya mushala ini harus dibangun untuk mencegah kiamat.” Kalimat daeng sedikit janggal, namun kesempatan masih diberi oleh pak haji, wajar saja jika tukang bangunan yang berbicara didepan majelis, mesti ada salahnya, pikir pak haji.
“mushala ini sejatinya saya bangun sebagai rumah, rumah untuk warga kampong tunggul. Karena dalam mimpi saya berdialog dengan jibril dan rasul, mereka ingin saya menyelesaikan mushala ini secepatnya, karena puasa ini, saya akan diutus menjadi nabi setelah Muhammad, dan inilah rumah saya, tempat kalian kelak diselamatkan dari hari akhir…”
“astaghfirullah”.. teriak majelis, terperanjat pula pak haji mendengar gumaman daeng. “Ada apa ini kisanak”, Tanya pak haji terbingung bukan kepalang.
“saya menjadi nabi berikutnya pak haji, karena tak lama lagi dunia akan kiamat, saya yang diutus untuk melanjutkan pesan Allah”…daeng berbicara serius.
“tapi Allah telah menitipkan Al quran, dan rasul telah mewariskan hadits kepada umatnya”. Pak haji berusaha meluruskan daeng. “percayalah pada saya pak haji, jibril bersayap putih datang ketika saya sedang tertidur di mushala, dia ingin saya menyelamatkan semua umat disini, ramadhan depan kita mesti berpuasa siang dan malam, al quran akan ditambahkan suratnya, semua itu melalui saya..percayalah, rasul pun berkata demikian dalam mimpi saya”…daeng sedikit berteriak. “masya Allah,sudah gila kau daeng” teriak salah seorang warga, disusul dengan teriakan protes lainnya. Daeng kemudian berdiri, dan mengangkat tangannya sebelah, seperti hendak membaptis seseorang “jika kalian tak percaya, maka kalian tak akan masuk surga, kalian sama seperti kafir dijaman nabi. Bertobatlah kalian wahai umat kuuu…” daeng kalap, seolah tidak percaya dengan respon warga.
Warga langsung ambil kendali, mereka serempak berdiri dan meneriakkan “kafir” kepada daeng, daeng diseret keluar dari mushala, sementara pak haji tak sanggup berdiri seraya ber istighfar.
Warga beriring-iring menarik daeng dari mushala kegubuknya. Daeng masih meracau mrngatakan bahwa dia adalah nabi berikutnya dan alquran akan ia tambah suratnya. Setibanya didepan gubuk, daeng dilepas. “ambil barang mu dan keluar dari kampung kami”, daeng tersudut dengan pernyataan salah seorang warga. Namun ia tak bergerak dari depan gubuknya. Kembali keluar teriakan warga “pergi, atau kami bakar gubukmu…” warga terdengar semakin marah. Daeng pun membalas “aku akan minta jibril menghancurkan kalian hai umatku, lihat saja…”.
Mendengar kalimat itu, tersulut emosi warga, dan tersulut pula kayu gubuk daeng dengan api oleh warga. Gubuk daeng terbakar, dan daeng tak punya pilihan selain lari kedalam hutan, sambil berteriak “kalian umat ku yang sesaaat”.
Dan gubuk daeng membara, seiring dengan membaranya teriakan warga kampung tunggul.
Sejak saat itu, mushala tak pernah sepi dari umat kampung tunggul, tak ada yang mau sesat seperti daeng, pak haji pun semakin gencar berdakwah mengenai islam. Daeng pergi tanpa mengambil upahnya 1 juta rupiah.
No comments:
Post a Comment