ketika lampu bioskop menggelap, maka...jreeng...film itu dimulai. seperti layaknya film-film adaptasi kisah nyata lainnya, tertulis dengan rapih tulisan "cerita ini berdasarkan kisah nyata...", persis setelah logo rumah produksinya muncul, ia itu: "MD". ohmaigat, perasaan saya langsung campur aduk, apakah film seorang bapak bangsa ini akan diterjemahkan dalam level sinetron? demikian batin saya ketika itu.
lantas film berjalan begitu saja, kisah habibie dan ainun dimulai kala itu dibandung, jaman dahulu kala (saya lupa tahunnya). yang pasti setting tempat nya sangat mantap, mobil-mobil jadul itu, muka-muka jadul, kostum klasik hingga rumah yang bergaya jaman kemerdekaan..ah, saya langsung berekspektasi bahwa film ini pasti akan bagus.
nah, kemudian stereotipe sinetron itu pun satu persatu dimulai. marilah kita kupas sisi yang pertama, yaitu perkara pemain. sekali lagi saya bilang, bahwa film indonesia itu selalu dan hanya selalu memainkan aktor aktris yang mukanya tampan dan cantik. terlepas dari cocok atau tidaknya ia memerankan karakter itu. sebutlah karakter habibie, okelah reza rahardian sangat baik mempelajari gaya bicara dan logat habibie yang khas, yang terburu-buru dan antusias. tapi oh tetapi, reza itu terlalu tinggi, dan pula kok tampan begitu. malah "ke-habibie-an" nya jadi tak tampak.
yang saya tangkap, habibie itu mestilah sosok yang mukanya biasa saja, namun memiliki karakter kecerdasan yang luar biasa, sehingga aura kecerdasan sewajibnya melebihi aura ketampanannya.
memang dinegeri kita ini, pelakon berwatak sangat jarang ditemukan, sebutlah macam denzel washington, yang karakternya melebihi mukanya. naaah..kaliber semacam itu lah yang tidak ada di sini. maka, karbitannya muncul, semacam reza rahardian yang lebih pantas jadi pelakon film india tersebut.
lantas, Bunga Citra Lestari (BCL) didaulat sebagai Bu Ainun. dan..yah..ampun, apa ngga ada wanita lain diindonesia selain ibu satu anak ini. rasanya agak risih aja melihat BCL dipeluk, dicium atau digandeng kesana kemari oleh lelaki yang bukan suaminya, ah...saya terjebak moral..
dari segi akting, BCL terbilang biasa-biasa saja ,layaknya bintang sinetron lain. terlalu datar dan sepertinya memang tidak ada tantangan yang diberikan pembuat skenario untuknya. ada pula jokes yang dilancarkan oleh seorang teman yang bicara begini:
"di indonesia, kalo udah bisa nangis didepan kamera aja, dijamin udah dapet kontrak main filem"..menggemaskan bukan?
okelah, kita lupakan dua manusia tak berjodoh itu, kita lanjutkan pada sisi cerita. ada satu adegan, ketika itu sedang turun salju, dimana habibie kehabisan ongkos pulang dan memilih untuk jalan kaki kerumahnya. yang menjadi perhatian adalah settingan saljunya, sungguh palsu belaka..palsu saljunya dan palsu lokasinya. rasanya, kebanting betul ketika melihat aktingnya reza yang cukup baik malah tercemar karena animasi yang parah.
yang kemudian menjadi cacat adalah kemunculan gery chocolatos, siapa sih elo? kenapa ini barang bisa muncul dua kali di film yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah. sungguh kemunculan ad-insertion ini malah merusak cerita, belum lagi penampakan nya yang terkesan tidak natural, dan seolah-olah dimunculkan sebagai bahan perhatian khusus penonton. tidak beresensi, sungguh...
lantas, adegan ketika habibie memberi presentasi pada orang-orang jerman, adalah kelucuan semata. ceritanya habibie berusaha menjelaskan sebuah teori baru pada insinyur ahli perkeretaapian di jerman. mereka diyakini adalah orang-orang yang kaku dan skeptis terhadap pandangan baru yang dibawa habibie. nah konyolnya, ketika habibie muncul dalam satu ruangan, dan memberikan presentasi dihadapan mereka, belum ada 3 menit berjalan, ketika habibie masih memberikan "orek-orekan" kapur dipapan tulis, ujug-ujug para insinyur jerman itu langsung manggut-manggut dan memuji habibie. tanpa menyanggah, tanpa bertanya, atau menguji hipotesa nya. aneh bukan? masa sekelas ahli di jerman, baru dikasih sedikit orekan aja langsung setuju. inilah yang membuat film ini terasa demikian membingungkannya.
adegan yang mengharukan justru muncul ketika habibie menyambangi PTPN diambang kebangkrutannya dan kemudian ketika ainun nyaris sekarat di ICU.
secara garis besar, film ini berusaha menceritakan secara tamak keseluruhan isi buku, tanpa memperhatikan sisi logis dan kepadatan cerita, apalagi menimbang ini sebagai bagian dari sejarah indonesia. saya merekomendasikan film ini ditonton oleh keluarga, tapi tolong jangan berekspektasi film ini akan mnyerupai "the aviator" nya leonardo di caprio. film ini setingkat diatas sinetron paling bagus yang pernah tayang di tv. tapi belum bagus untuk sebuah film biografi.
akhir kata, saya sangat mengagumi kisah habibie dan ainun, adalah sebuah contoh dan tauladan bagi putra-putri bangsa. tapi saya bertekad tidak akan makan gery chocolatos, atau menyewa dengan sengaja film ini di rentalan favorit saya. sebaliknya, buku nya telah menjadi koleksi saya sejak beberapa tahun silam.
3 comments:
ah masnya kurang kosisten ni dalam melabeli sesuatu, di sati kalimat dibilang karbitan, di kalimat lain katanya aktingnya cukup baik. juga agak kurang bijak rasanya melihat fisik (kegantengan) sementara di sisi lain aktingnya katanya sangat baik dalam meniru gaya bahasa dan gesture Pak Habibie? bukankah wujud fisik itu udah given, dan kalau harus menghargai ya dari sisi aktingnya (contohnya keberhasilan menirukan gaya bicara dan gesture) yang memang memerlukan "usaha" dalam mempelajarinya, bukan dari fisik yg nota bene dianugerahkan bukan dipelajari?....oh iya, denger2 yang minta BCL jadi Bu Ainun itu Pak Habibie sendiri :P ..... (bukan fans film H&A, tapi cuman mencoba berpendapat hehehe) oh iya, kalo masalah logika film, yaaa namanya juga sebuah film yg diangkat dari buku....selalu ada space yg kadang "dipaksakan" :)
aku tahu kamu menyukai pria berbulu wahai haru... :P
tapi gak suka gery chocolatos wahai vino hehehe
Post a Comment