Feb 18, 2011

Dodi, teman SD

Kali ini aku ingin kembali mengenang masa kecilku. yaah, hanya sekedar mengingat mengenai sejarah hidupku sendiri yang barangkali tiada berguna bagi orang lain, namun untukku menyimpan makna mendalam. Ini kisah terjadi ketika aku berada di dalam ruang pengap di SD Mardisiwi III Padang, kelas 4. Sekolah ini selain sebagai sumber menuntut ilmu bagiku, juga merupakan sumber mata pencarian Mama ku, Mama disana sebagai guru kelas 1 dan 2, kemudian sekali dalam sehari sekolah beliau juga mengajar kesenian dan bahasa inggris (sungguh aku mengagumi beliau, memiliki banyak keahian dan serba bisa). Beliau lah yang menginisiasi agar aku sekolah SD ditempat yang sama dengan beliau, sementara Papa menyetujui nya, karena selain aku lebih bisa terkontrol, dan biaya antar jemput pun jauh lebih murah.

Sebenarnya, sekolah negeri yang tidak jauh dari sekolah ku pun ada, namun Orangtuaku haqqul yaqin bahwasanya sekolah tersebut dipenuhi dengan anak-anak nakal dan kurang terurus. dan memang benar begitu.

Oke, cerita ini bersetting dikelas sebelah ruang guru. aku, ketika kecil tidak pernah jauh dari pangkat ketua kelas, entahlah, apa karena Mama juga mengajar disana, sehingga aku ikut-ikutan memiliki andil dalam mengatur kegiatan teman-teman dikelas. bisa juga karena Mama adalah guru disana yang membuat ku lebih menonjol ketimbang teman-teman lain serta memiliki sedikit "otoritas" untuk semena-mena. Lebih tepatnya, aku tidak takut dengan teman siapapun, karena sepertinya teman-teman lainpun enggan berurusan dengan anak guru! haha...ini betul-betul warisan orde baru. karena si anu anaknya si anu, jadi si anu yang lain tak berani meng anu-anu in si anu.

Tak tahu mengapa, aku dulu paling tidak suka dengan satu orang teman kelasku, namanya Dodi, aku lupa nama lengkapnya, tapi dia itu si Dodi. anak kecil yang atraktif, lari kesana kemari, bermuka kusam, dan suka menggoda teman-teman perempuan. Dan aku, sebagai pihak otoritas, senantiasa melakukan tindakan preventif, semacam menendang, mencekik atau memukul kepalanya. Atau sekali-kali aku juga sering menendang nya tanpa alasan jelas..betul-betul nista!! penindasan!!

Kala pagi menjelang siang itu, Kami sekelas mendapat pendidikan belajar kesenian (ketika itu tidak diajar oleh Mama) yang benar-benar kusambut dengan antusias (Sejak kecil aku memang suka hal-hal berbau seni, hanya saja nasib tak menggiring ku menjadi seniman). Aku gemar sekali menggambar.Well, seharusnya pelajaran jam itu bukan kesenian, melainkan agama, tapi karena guru yang bersangkutan tak ada, akhirnya digantilah pelajaran kami menjadi kesenian yang adalah pelajaran favorit semua siswa. Ditambah lagi gurunya tak ada, anak-anak kecil ini semakin leluasa dan kegirangan, bak anak ayam tak berinduk. Sehingga terjadilah keributan sedemikian rupa, guru-guru kelas sebelah pun berulang kali masuk kelas kami dan menegur. Nah, kalau sudah begini ceritanya, yang menjadi tumbal pastilah ketua kelas, karena tidak bisa mengontrol teman-temannya. Saking tak terbendungnya keberisikan ini, Kepala Sekolah pun akhirnya masuk, ia bernama Ibu Masnety.

"kenapa kok kelas ini berisik sekali??"
semua siswa diam..

"Siapa yang tadi berisik??"
semua siswa tetap diam..

"Fino, coba tenangkan kelasnya..."
"iya Bu.." jawabku...

kemudian Bu Mas kembali keruangannya...

Sepeninggalan beliau kelas ini kembali berisik. Aku bahkan tidak konsentrasi lagi untuk membuat gambar, karena seisi kelas begitu berisik. Dan, tak tahu mengapa..kalau sudah urusan ribut dan berisik, aku selalu berpatok pada satu orang: Dodi.

memang ia ikut-ikutan berisik dan berlari kesana kemari, namun jujur saja, sebenarnya yang lain juga begitu.

Pokoknya tak tahu apa dan bagaimana sebabnya..tiba-tiba aku mengejar Dodi yang berlari kesana kemari. Begitu ia sadar ancaman bahaya dibelakangnya, ia kemudian berlari lebih kencang memanjat meja dan kursi siswa yang lain
aku menanah...

Bagaimana caranya membuat kelas ini tidak ribut. dan satu-satunya cara terpikir dalam benakku adalah dengan mengintimidasi Dodi, caranya simpel saja. aku mulai dengan mengejarnya hingga dapat dan mencekik lehernya demikian keras.

dan tidak meleset, memang itu yang aku lakukan.

sungguh dulu aku tak memiliki pikiran bahwa mencekik leher seseorang itu akan berdampak buruk, sangat buruk. karena sebelum-sebelumnya, jika aku mencekik leher teman lain, mereka cukup bilang ampun saja. maka hal itu berakhir.

Dodi, ketika ku cekik tidak bicara apa-apa..aku begitu bodoh ketika itu berpikir bahwa dia tidak jera dengan aksi kekerasan yang aku lakukan. tetap saja ia kucekik dan semakin keras, semakin keras dan semakin keras...

sampai akhirnya Dodi mukanya memerah. kala itu aku mulai panik dan tanpa duga melepas cekikan. seketika Dodi bernapas lega dan sambil mengelus-elus lehernya, ia menangis...

sungguh aku demikian bodoh melakukan tindakan serupa itu. dia menangis sangat lama, bahkan untuk ukuran tukang ribut sekalipun. dan memang ketika itupun aku tahu betapa keterlaluannya tindakan itu.

maka sebagai pengganti rasa bersalah, aku membuatkan gambar untuknya, yang bahkan lebih bagus dari kepunyaan ku. entahlah, hanya itu yang bisa kulakukan untuk menebusnya...


dari sana, aku belajar dan mengerti bahwa sebenarnya, kekuasaan adalah kejahatan jika berada ditangan yang salah. dan kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah :(.

sejak itu aku enggan untuk mengasari orang lain, atau sekedar memberi tonjokan pada teman terkecuali itu sangat perlu.

Dodi, kini entah dimana, dan entah bagaimana rupanya. namun jika bertemu, aku ingin sekali dengan tulus meminta maaf atas kejadian masa kecil itu.