Sep 28, 2010

papirus

adakah kita bersapa, wahai setan penghuni neraka?
akukah yang terlalu merasa, atau didada ini engkau semakin berkuasa?

Sep 23, 2010

Arti

*sekali berarti, setelah itu mati...

ada kalanya frasa itu mengambang dibenakku sebagai refleksi sejauh mana aku telah berarti bagi diriku dan orang lain. Karena hidup tidak hanya tentang aku, tapi tentang semua hal disekitarku, bagaimana semua hal itu berkaitan, saling bersentuh, sehingga mencipta sebuah tindakan yang aku, dan orang lain rasa. Apakah tindakan itu berarti adalah perkara nilai.
Seandainya dalam hidupku ini, aku telah berarti bagi orang lain...
Sungguh, dalam kekacaubalauan ini, Aku ingin melakukan sesuatu untuk dunia.

Sep 22, 2010

papirus

Tempat ini menawarkan ketenangan untukku, dengan posisi duduk dipojok berbatas dengan jendela, persis menghadap perempatan lampu merah yang lumayan padat. Tak kusangka KFC memiliki kualitas tempat senikmat ini.
Tempat ini memberikan kesejukan dibalik keresahan dan kegalauan yang belakangan ini muncul. Benar, aku seperti bukan dijogja. Entah kenapa muncul berbagai inspirasi disini.
Ah...mengapa tempat itu harus KFC.

renungan pagi.

Aku percaya hidup akan jauh lebih baik ketika kita berada disamping seorang pasangan yang kita cintai. Aku yakin, hidup setelah menikah akan jauh lebih baik. Hidupku, seperti saat ini, entah kenapa kurang tenang. Banyak pikiran. Uang masuk dan keluar begitu gampang. jutaan jumlahnya dan tak tersimpan.
Temanku bercerita bahwa nanti ketika menikah, pengeluaran akan jauh lebih teratur, dan hidup pun jauh lebih baik. Benarkah demikian? Jika ya, maka aku tak sabar untuk menunggu waktu pernikahanku nanti.
Mungkin aku tipe Familyman, yang jauh lebih betah bersama keluarga ketimbang harus kasak kusuk dengan urusan kerja. Kebahagiaan keluarga bagiku target utama, dan karir setelahnya.
Papa ku telah memberikan contoh luar biasa tentang bagaimana pentingnya menjadi Familyman. Tidak ada diantara aku dan adikku yang terjerat masalah narkoba, kekerasan, bahkan kami merokok pun tidak. Padahal dulu, Papa adalah perokok berat. Dan buatku, itu sebagian kecil contoh yang diberikan oleh Papa mengenai pentingnya menjadi seorang Familyman. Sebuah nilai yang tidak bisa secara instan terjadi begitu saja, namun nilai itu ditanamkan dan dipupuk dari hari ke hari hingga saat ini aku mendekati 25 tahun.
Papa berhasil mendidik dalam keluarga kami yang sederhana.

Sep 21, 2010

Story of my brother

"bang...hasil IPB udah keluar bang..." adikku berkata dengan penuh excited. Tergambar dimatanya sejuta harapan yang membumbung, dengan impiannya ingin meneruskan studi alih jenjang ke sarjana. Senyumnya menyunggingkan harapan. Yah, harapan agar ia bisa masuk sebagai salah satu calon mahasiswa yang diterima pada jurusan ilmu gizi IPB.

Aku menatapnya dalam, matanya menunjukkan kecemerlangan, optimisme dan semangat muda untuk menuntut ilmu. Betapa ku teringat bagaimana kami dulu kecil. Kami, bukan orang kaya yang ketika kecil bergelimang kenikmatan hidup dan dimanja sedemikian rupa. Masa kecil banyak kami habiskan di asrama tentara bernama "Ganting" dengan rumah kecil memanjang, dan sekat-sekat pembatas antara tiap ruang. Tak ada kamar rumah kami, bahkan toilet untuk buang air besar pun tak punya. Kami terbiasa hidup susah.
Suatu kali, karena kenakalannya, adikku pernah diikat oleh Mama di pohon jambu teras kami. Entah apa penyebabnya ketika itu, aku lupa. Namun kejadian unik itu selalu membuatku melayang kedalam rumah kecil kami dulu.

"iya sabar..abang pasang dulu modemnya..." sembari aku mencolokkan modem kedalam laptopku. lantas aku mengakses website pengumuman hasil penerimaan mahasiswa IPB itu.

"Bang...deg-degan nih..." selanya ketika aku masih menunggu web tersebut bisa diakses sepenuhnya. lantas cemas terbayang dimukanya. Barangkali ada rasa takut yang terpancar dalam pikirnya, bagaimana bila ia tak lulus, seperti ujian yang beberapa waktu lalu ia ikuti. Ia mngikuti seleksi alih jenjang FKM UI yang notabene juga almamaternya. kegagalan di UI beberapa waktu lalu cukup membuatnya shock. Betapa tidak, Ia bercerita bagaimana temannya yang memiliki kemampuan biasa-biasa saja dapat masuk, sementara Ia sendiri, yang notabene adalah lulusan 5 terbaik dikampus, malah tidak lolos. Sempat aku memarahinya ketika itu, bagaimana ia bisa tidak lolos. Ia beralasan bahwa dengan mulai bekerjanya ia diklinik, maka waktu yang ia miliki untuk fokus belajar menghadapi ujian tersebut berkurang. Dan kemudian aku menasehatinya agar lebih berkonsentrasi serta belajar lebih rutin untuk persiapan ujian masuk IPB yang masih bulan depan.

Anggukannya berarti bahwa ia benar-benar akan lebih bersungguh-sungguh dalam belajar untuk persiapan mengikuti ujian IPB. Aku mengetahui karakter adikku ini. Jika ia benar-benar ingin, maka ia serius menjalaninya. Dan benar, aku melihat keseriusannya dalam mempersiapkan diri menjelang ujian masuk IPB. Seperti yang aku selalu percaya, jika kita serius, maka kita akan menuai hasil positif. Man Jadda wa jada. Itu pula yang aku sampaikan pada adikku ini.

Dan detik ini, adalah detik penghisaban. Detik untuk mengetahui hasil dari kerja keras itu, apakah berhasil atau tidak. Laman web telah terbuka. Tertulis kalimat sakti yang telah kukenal sejak jaman lulus SMU: "masukkan nomor ujian anda atau nama lengkap anda, dan klik hasil". Disinilah penentuan nasib itu. Adikku dengan masih cemas dan harap-harap bahagia mengeluarkan kertas nomor peserta dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku.

"Duuuh bang...rasanya gerogi kalau ngetik nomornya, abang aja yang ngetikin", serahnya padaku.

"iya, satu hal dik, kalau emang tidak lolos, setidaknya adik telah berusaha dan melakukan yang terbaik", aku memberitahunya...

Masih ingat diotakku berapa nomor ujiannya: GIZ0029. Aku ketik laptopku dengan ia berada disampingku. selesai terketik, dan kini ku tekan tombol hasil.

Dan inilah hasilnya:
"maaf, anda tidak terdaftar sebagai calon mahasiswa Ilmu Gizi..blablabla..." Ya Allah, sungguh tega, pikirku dalam hati.

Adikku, lelaki sederhana itu menahan senyum bahagianya, lantas berganti menjadi senyum mengulum pahit. Hingga kini masih kuhafal ekspresinya. Sebuah ekspresi yang membuatku sadar betapa lemahnya kami sebagai manusia biasa, yang tidak bisa mengubah takdir dan jalan Allah. Baru kali ini dalam hidupku, aku menggosok punggung adikku yang telah dewasa itu dan mengatakan: "Sabar ya dik...", seketika terpancar wajah kedua orangtuaku yang juga menaruh harapan pada hasil ini, ingatku pada senyum mereka, pada kerja keras mereka, dan semua doa yang telah mereka habiskan tiap sunyinya malam.

Luar biasa sedihnya hati ini. Aku mengetahui betapa ia telah bekerja keras, dan berjuang untuk hasil maksimal di tes ini. Aku masih mengingat bagaimana senyum harapan yang muncul sebelum hasil ini. Aku merasa ada ketidakadilan dengan hasil ini, mau bagaimanapun...

Jujur aku sempat berdoa agar Ia lolos, meski aku harus mengorbankan kesempatan sekolahku ke Amerika, sungguh aku ikhlas. Asal adikku dapat diterima. Karena ia memang pantas untuk itu. Benar, aku ikhlas!

Aku hanya takut ia kehilangan harapan dan enggan untuk mencoba lagi, karena kegagalan dua kali dan dalam waktu berdekatan bukanlah hal yang gampang.

Tak lama setelah itu, ia memberitahu bahwa semua temannya yang juga mendaftar alih jenjang S1 di IPB, tak satupun yang lolos. Barangkali itu sedikit mengobati kepedihannya. Dan akupun begitu.

Adikku, lelaki yang masih pantas untuk melanjutkan kuliah, terpaksa harus menunggu tahun depan dan bersabar untuk mencoba lagi. Kini ia berjuang sendirian di belantara Jakarta, mencari dan menghidupi dirinya sendiri. Tak sedikitpun aku menemukan nada kekecewaan darinya, senyum tetap terpancar dan ketenangan dalam rautnya melegakanku. Barangkali itulah kualitas yang kami miliki. Life goes on, meski Man jadda wa jadda tak selalu menjadi mantra ajaib dalam hidup ini.

Aku kagum pada ketegaran adikku.

Semoga sukses dik. Aku mendoakanmu dan aku yakin...tahun depan akan menjadi tahunmu.


*nama ia dirahasiakan