Mar 31, 2013

Cerpen: Upik


Belum lagi gelap, upik sudah takut bukan main, ia berpikir betapa sulitnya kelak bersesuaian dengan 6 istri datuk lainnya. Konon, istri datuk pituah tidak saling akur satu sama lain. Datuk acap berbuat tak adil. Bagaimana tidak, sebulan lalu istri ketiganya diberi satu petak sawah, yang lainnya dibiarkan kadang tak berharta. Datuk adalah seorang lelaki paruh baya yang hampir memiliki tiga perempat sawah dikampung mandeh, dilereng gunung singgalang.

Atau datuk sering bermalam dirumah satu istri, lebih dari seminggu, sedangkan nafkah istri lainnya ia abaikan. Istri-istri datuk saling sirik bukan kepalang dan begitu saja perputaran kehidupan mereka. Semuanya ingin perhatian lebih lelaki tua itu, tak satupun yang diceraikan oleh datuk, karena ketika datuk mengunjungi istri-istrinya, semua menyambut bak raja.
Satu hal yang mengganjal hati upik, ia tak mau berkeluarga dalam usia muda.

Kalau lah bukan karena belitan utang sepinggang yang dimiliki ayahnya yang penjudi itu, mungkin upik belum akan menikah. Dia masih akan bermain belajar mengenai seni jahit, atau meneruskan kebiasaannya pergi mandi ke air terjun dekat bukit. Upik masih 15 tahun. Tapi apalah dayanya, ia tak kuasa menolak lamaran datuk pituah seminggu lalu. Dengan dalih utang ayahnya akan dilunaskan dan orangtuanya tidak perlu lagi cemas memikir beras kebutuhan makan sehari-hari, datu tak ragu mempersuntingnya. Datuk akan menyuplai kebutuhan hidup mereka, termasuk emas sebagai tanda jadi datuk pada upik. Senanglah ayah upik mendengar itu.

Upik masih mengaduk-aduk air teh untuk undangan malam itu, mukanya tampak tak bahagia. Bukan ini tentu yang ia bayangkan sebagai masa depannya, upik kepingin jadi tukang jahit, seperti yang ia lihat pada diri ibu nur, yang ahli menjahit, sementara suaminya guru silat kumango kampung. suami ibu nur tak pernah melarangnya dalam berusaha, dukunganlah yang selalu diperoleh.

Sementara datuk telah meminta agar ia tak usah lagi bekerja, cukuplah dirumah saja bersama datuk, itupun kalau ia ada dirumah, bagaimana jikala ia dirumah istri lainnya??... maka pupuslah harapan upik meraih cita.

kala serta ia berdendang sedih mengaduk air teh gula:

” beginilah nasib perempuan tak berpunya”
”hidup seadanya, tak sekilaspun bahagia”
”kalau lah tuhan boleh berkata, mati kan aku daripada sengsara”

Mengalir air mata upik ketika itu hingga menetes kedalam teh yang ia seduh. Ternganga semua sanak saudara yang ikut membantu, tapi tak ada yang berani berkata, termasuk Ibunda, karena mereka memang tahu begitulah keadaan mereka.

Dalam renung pendeknya, upik terbayang akan kematian teman sepermainannya yang bernama jora, ketika ia berdua bermain masak-memasak diujung rumah penghulu. Kala itu mereka memetik tumbuhan yang hendak mereka masak, jangka sebentar jora menemukan bunga unik berbentuk payung dan berwarna ungu hijau. Jora berpendapat bahwa itu adalah hadiah penghuni hutan pada mereka. maka tanpa pikir dua kali ia langsung petik dan masak.

Namun, malang yang didapat jora, ia betul-betul penasaran ingin mencoba rasa dari tumbuhan ungu yang ia temukan tadi, takdir memihak jora untuk mendahului upik memakannya. Dua suap saja....

Maka berbusalah mulut jora dan kejang badannya. Sementara upik, teriak seteriak-teriaknya, takut!!. Jora dilarikan kedukun kampung, namun nyawanya sudah tak tertolong lagi....

kembali dari lamunannya...

ia tuang air teh kedalam gelas, lauk pauk sudah hampir masak, berbelas macam kue lengkap dengan buah-buahan sudah mulai dihidang. Malam ini upik akan dinikahi oleh datuk pituah dengan mahar 5 ekor sapi, emas dan setengah hasil panen tiga bulanan.

Iringan musik dan tari serampang 12 siap pula mengadu hentak.

Datuk hadir dengan raut senang geminang, menyadari fakta bahwa usia 70 tahun tak menghalangi hasratnya meminang gadis muda.
Birahi syaitannya menguasai.

***

Selesai sudah teh disaji, sementara upik bersiap seadanya menyambut calon suaminya itu. Tak sedikitpun riak bahagia muncul diwajahnya, kecuali sang ayah. Ibunda menyudut penuh sesal karena tiada kuasa menolak keinginan ayah.

diluar rumah, para tamu diiringi tetua adat satu persatu tiba.

***

Balas berbalas pantun menjadi pembuka acara pernikahan upik dan datuk pituah, datuk pituah datang beserta rombongannya 3 majelis solat jumat, upik ditemani ayah dan ibunda, serta sekumpulan kecil saudara satu rumah gadang. Mereka adalah ibu-ibu serta anak menantu.

dipenghujung jalan, istri-istri datuk menyusul dalam iringan khusus setelah datuk tiba, mereka datang tak lain tak bukan hanya untuk menunjukkan rasa tak senang  atas kehadiran istri baru datuk. bisik demi bisik hingga akhirnya berisik tak terelakkan.

Maka upik hanya menunduk saja selama acara berbalas pantun tersebut terlaksana, tiada ia berani melirik pada datuk, apalagi istri-istrinya, meskipun datuk sudah bersebelah dan memegang tangannya sambil berkali-kali berbisik dikupingnya, meski sebenarnya Ia hanya ingin mencium pipi upik. Upik tak mengelak, sungguh ia ingin sekali menangisi takdirnya malam itu.

Berbalas pantun selesai dengan diiringi tepuk tangan tak habis-habis dari para tamu undangan dan tetua kampung. Sekarang tinggal menunggu penghulu adat yang masih melaksanakan sembahyang dipohon beringin. hitungan sepuluh duapuluh rokok nipah, sang penghulu belum tampak jua..

sementara datuk kelihatan resah gelisah tak sabar menunggu penghulu, ia ingin segera menyudahi acara ini, agar sampai hasrat nafsunya terhadap upik. Pengunjung yang datang pada acara itu mulai gerah dan kehausan, karena belum juga tiba penghulu yang ditunggu-tunggu.

datuk akhirnya meneguk segelas teh manis sembari mempersilahkan semua pengunjung minum. Sudah salah pula prilaku datuk secara adat, bahwasanya seorang mempelai dan pula tidak berada dirumah nya sendiri, malah mempersilahkan semua tamu minum teh dan mencicipi makanan yang telah disediakan, seolah hajat itu diselenggarakan dirumahnya.

Tersinggung lah ibunda upik, kecewa melihat menantu yang lebih pantas menjadi kakeknya. Ayah hanya diam saja melihat itu, karena yang terpenting baginya adalah emas pemberian datuk padanya, yang nanti akan ia pakai untuk berjudi dan beras, yang sudah terpikir hendak ia jual sebagai modal berjudi, apabila emas itu kalah dipakai.

Upik tetap tak bergeming, dia diam saja. Sementara datuk pituah rakus benar hingga menghabiskan tiga gelas teh manis dan setumpuk makanan kecil, beda tipis perilakunya dengan tamu dan undangan yang hadir.

****
Luar biasa efek racun yang menyebabkan kematian jora, cepat sekali merenggut nyawanya, tak lebih dari sekali menebas pohon pisang.

Efek itu terjadi pula pada datuk yang juga telah menenggak racun itu...

Teh manis yang diaduk tadi oleh upik secara diam-diam telah dicampur oleh tumbuhan yang menyebabkan kematian jora. Berbusa kini mulut datuk yang tepat berada disebelah upik, karena ia yang minum teh manis terlebih dahulu. Tak lama berselang, satu persatu tamu dan undangan yang meminum teh ikut tumbang, dengan gejala yang sama: mulut berbusa dan badan kejang.

Nyaris semua yang hadir telah meminum teh itu, termasuk ayah upik, istri-istri datuk pituah, tetua adat dan rombongannya.

Lama ia memikirkan cara agar bisa menghindar dari semua ini, hingga semua itu berujung pada rencana upik untuk membunuh semua tamu dan undangan yang hadir pada malam pernikahannya. Telah gelap pikiran upik dalam mencari jalan keluar masa depannya. Niat baik ingin menjadi ahli jahit kandas sudah. Dalam renungnya saat itu,ia kembali teringat penyebab kematian jora.... ia petik tumbuhan berwarna ungu itu barang 5 batang, ia tumbuk dan keringkan. Maka ketika mengaduk teh sore tadi, ia mencampur gula serta merta dengan tumbuhan beracun itu.

Suasana bahagia kini berganti menjadi ladang mayat dirumahnya. Tak satupun yang tersisa, kecuali hanya ibunya yang memang tersinggung oleh sikap datuk dan memutuskan tak meminum dan memakan apapun.

Upik dan ibunya kini berada diantara tumpukan mayat itu. Maka mereka diam saja. Keheningan memecah ketika penghulu baru saja datang dari sembahyangnya. setelah itu bukan lah acara pernikahan yang penghulu langsungkan, melainkan pemakaman seisi kampung Mandeh.

No comments: