Jan 22, 2013

Cerpen: Priok '92


Ditulis pada senin, 10 Januari 2011, jam 17.45 WIB

****

barda menonjok pipi kanan lelaki yang mencoba menarik tasnya. pukulan itu telak mengenai rahang dan menimbulkan efek kunang-kunang luar biasa. sipencuri berusaha berdiri, 3 detik dan kemudian lunglai lagi...
" ini tanjung priok, anak muda...", barda melirik tajam pada sipemilik suara. ada 4 orang dihadapannya, dengan jarak hanya sekitar 4 kaki. mana kira-kira yang bicara?? ia terus saja mengamati tiap gerak 4 pemuda didepannya. mengira-ngira siapa yang akan lebih dulu menyerangnya.

kuda-kuda pertahanan telah ia bentuk. ia hanya menunggu, pantang untuk menyerang lebih dulu. demikian filosofi silat kumango yang ia pelajari 10 tahun ini. maka suara itu kembali mengusik.
"jangan belagak pahlawan...kau kasih saja tas isi dompet itu, dan kami biarkan kau pergi"... baru barda sadar bahwasanya itu suara ada diatas bangkai bus yang terbengkalai. tanjung priok '92 adalah sumber penuhan besi tua macam itu.

barda, tetap diam, ia harus hemat tenaga untuk menghabisi 4 lawan didepannya. dan lelaki dengan muka paling muda melayangkan tendangan karate. barda mengelak kekiri, lantas kembali memasang kuda-kuda. sekali lagi pemuda ini menyerangnya, kali ini membabibuta, kaki-tangan-kaki berkombinasi tak tentu, jelas ini celah bagi barda. belum sampai serangan itu ketubuhnya. dua tendangan jarak pendek mengenai muka dan perut sebelah kanannya. ia  mengaduh sampai gaduh. celah itu demikian terbuka, hingga barda tak perlu bersusah payah.

3 pemuda didepannya langsung saja mengepung barda, mereka yang tadinya memasang raut cemooh, kini berganti keras dan waspada dan mengeluarkan senjata. barda mengeraskan semua ototnya. terdengar derik-derik dari tubuh yang sedang mencapai titik sempurna itu.

sekonyong-konyong 3 pemuda itu menyerang, dari belakang, dari kiri dan kanan. masing-masing bersenjatakan kayu, besi karat dan rantai bekas. melihat yang demikian, sepersekian detik barda berlari kedalam salah satu bangkai bus yang tergeletak disana, serta merta mereka menyerang. trik yang cerdas, barda mampu menempatkan musuh pada satu bidang sempit yang tidak memungkinkan mereka menyerang bersamaan.

pemuda berkayu kebagian paling depan, belum saja dia mengayunkan benda panjang itu, satu tendangan sudah mengenai dadanya, ia tersungkur kebelakang yang selanjutnya menghimpit pemuda berrantai. sementara pemuda terakhir mengayunkan besinya dengan sembrono, ia langkahi 2 temannya itu.

kontan barda mengambil langkah mundur, menundukkan badan, hingga ia melihat celah untuk memegang pergelangan tangan penyerangnya, ia putar berpilin.." KRAAAKKAKAKK..." bunyi tulang pergelangan yang patah itu dikoor dengan teriakan menyalak..

"AAH,..TANGAAN GUEE...". muka nya yang kesakitan makin sakit ketika satu pukulan barda menimpalinya. lengkap. hidung pesek semakin pesek, sebaliknya, bibir perlahan menjadi mancung bengkak. besi karat itu kemudian dipegang barda sebagai tamengnya, kini masih ada dua pemuda lain, yang memegang rantai dan kayu.

giliran barda yang sekarang maju, mereka mengatur langkah mundur, pelan-pelan. dan akhirnya mereka berdua lari.


dengan cepat barda keluar dari bus, namun tak bermaksud mengejar yang lari barusan. karena memang awalnya ia tak mencari masalah. ia hanya pemuda kampung biasa yang ingin mengadu nasib ke jakarta. dengan menumpang kapal pengangkut ikan ia kemudian merapat hingga priok. mana tahu ia malam-malam begini akan ada orang yang menjahatinya.

"sekarang aku boleh pergi??" tanya barda pada lelaki yang duduk diatas bangkai bus itu. mukanya tak terlihat, samar karena cahaya minim dan efek mendung.

"tidak secepat itu anak muda..." ia menjawab sambil berdiri dan melompat turun. dari gerakan dan kelenturannya, barda tahu, lelaki ini bukan orang sembarang.

cahaya semakin terang menyirami. barda baru tahu kalau ternyata lelaki ini pincang, bentuk tubuh tak meyakinkan untuk adu fisik kelas berat. ia seperti pengemis, lengkap dengan baju lusuhnya.

"aku saiful..harus kuakui kau boleh juga.." ia berjalan pincang mendekat, sementara barda tak begeming. ia masih memasang waspada, karena logikanya menemukan sebuah kejanggalan: bagaimana mungkin lelaki pincang dapat melompat turun dengan begitu lentur dan elegan?.

"kau mau apa? aku hanya ingin pergi dari sini.." barda kini telah  berhadapan dengan saiful, ia tak lebih tinggi, dan sedikitpun tak punya otot. tapi barda entah kenapa barda terus waspada, dan instingnya terus mengatakan agar ia tak lengah. sungguh ini lawan yang tak terduga.

"bagaimana kalau kita bertarung saja? aku tak akan segampang itu melepas kau, setelah kau taklukkan semua anak buahku..." saiful menatap tajam barda.

"aku tidak bertarung dengan orang yang telah seumur ayahku dan...." jawab barda.

omongan itu terpotong lantaran barda harus mengelak dengan pukulan cepat saiful. pukulan bersambung dengan beberapa jurus yang menekan kuda-kuda barda. dan berkali-kali barda harus mundur dan menahan serangan kunci saiful. ia kagum sekaligus waspada, ternyata ia bertemu harimau tua. taringnya tak tergerus jaman.

berkali-kali serangan saiful ia tahan, barda akhirnya memperoleh jeda sejenak. lantas ia gulung ujung kemejanya, ia jatuhkan tas yang tadi hendak direbut. tak peduli. karena ini bukan lagi masalah uang. ini masalah tarung kemampuan. saiful meski tua dan pincang , belum sedikitpun menunjukkan penurunan fisik. barda, semakin diserang, semakin terpancing dia.

priok, tak pernah sepi, tak siang tak malam, sama berisiknya. jika malam, berlabuhlah kapal-kapal singapura yang menitip barang selundupan kejakarta. para pekerja asik dipinggir labuh kapal. sementara barda dan saiful, berduel dilapangan parkir lama yang kini telah jadi pengumpulan besi bekas. tiada yang tahu.

bercak-bercak darah mewarnai beberapa dinding bangkai kendaraan disekitar, saksi duel lellaki dua jaman ini, dan ternyata duel ini demikian sengit. tak seorangpun yang mengalah...tidak barda, tidak pula saiful.

meski akhirnya barda meninggalkan lapangan itu lewat tengah malam, sementara saiful berdiri memandanginya. tak ada yang mati. tak ada yang kalah. dan barda menyelamatkan harga dirinya.

No comments: