Jan 22, 2013

papirus

kala itu salju sedang tebal. angin diluar tak bersahabat sementara perutku berdentang bagai piano. diluar demikian suram, cahaya lampu kamar berkedip kelap mengikuti angin yang gaduh mengaduh. tanganku gemetar menahan lapar, keringat yang tak sepantasnya mengucur pada roma sedingin ini, mengucur jua. tak kenal lelah, tak kenal susah. telah dua hari perutku kerontang diberi nasi. tak ada sesiapa disebelah kamar, lantaran semua orang berhamburan begitu akhir semester selesai. menyisakan bertumpuk sepatu, pakaian kotor, dan perkakas salju didepan lorong apartemen kami.
aku terlalu lapar untuk berpikir akan kemana, atau kuhabisi saja mie berkandungan babi ini. ah..tidak. ini tidak halal. dan perutku tak ingin kuisi dengan barang tak halal.

aku pun terlalu lapar untuk membongkar isi lemari stok makanan yang kubawa dari indonesia. rasanya tak ada yang tersisa. namun perut ini semakin perih saja. apalagi selenting aroma KFC yang datang entah dari mana, merasuki pikiranku. atau sebungkus indomie yang telah diracik dengan telor dan sedikit cabe rawit, ya Tuhan, rasanya pasti sungguh nikmat.

pikiranku berkecamuk dengan halusinasi dan bayangan yang semakin menyiksa. aku rasanya ingin pingsan hingga tak sadar menjatuhkan diri dilantai. bayangan kedinginan dan penderitaan lapar bagai sembilu yang pelan-pelan mencapai tulang, dan menusuk tiap inci daging yang ia lewati.

sakit, perih..dan..dan snicker...
apa?
barusan aku melihat snicker, apa ini imajinasi ku?
aku baru saja melihat sekilas dibawah dipan, bungkusan coklat berukuran lumayan besar bertuliskan snicker. ah aku pasti halusinasi lagi..
tapi aku bisa merabanya ketika tanganku menyentuh ujung plastik dibawah kolong itu. dan ya...itu snicker.
oh Tuhan, engkau sungguh maha baik, aku jadi teringat ketika terakhir berkumpul main kartu dengan teman-teman beberapa minggu lalu, sengaja aku menyembunyikan sebungkus besar snicker tamsir, sebagai ujian kekalahannya bermain troof. dan aku baru tahu jika dia tidak terlalu mempedulikannya, dan lantas kenangan itu hilang sedemikian rupa hingga detik ini ia hadir sebagai dewa penyelamatku.

tanpa hitungan detik rasanya mulutku telah penuh dengan coklat gempal itu. kenyal, nikmat dan manis tak ketolongan.
snicker, terima kasih

No comments: