May 19, 2012

(Cerpen) Rara dan Ketulusan Cinta


ditulis pada 31 Maret 2010, 09:58AM
******


“hebat…masih muda tapi sudah kaya” begitu kata mama ketika ia melihat candra yang mendatangi ku dengan membawa mercy entah kelas apa, dan mama begitu mengagumi candra.

“jadi definisi hebat mama begitu ya,kalau udah ada yang bawa mobil mercy, berduit, lantas dia jadi hebat dimata mama”..aku menjawab dengan sedikit sindiran, mama memang sedikit materialistis, apalagi semenjak papa pensiun dari pekerjaannya. mama sangat cemas dengan masa depanku apabila dipersunting oleh lelaki tak berstatus.

“hello tante, lama ga jumpa…” candra bersalaman sembari melirik kearahku dengan lagak lelaki paling dipuja seluruh wanita
“hai rara, kamu makin cantik aja…oh ya, buat yang perempuan secantik kamu, aku tak sembarangan memberi hadiah…” ia menyerahkan padaku sebuah bingkisan kecil, ku yakin isinya adalah cincin berlian yang memang sudah dijanjikannya ketika ia masih di swiss. aku tak kaget, karena cincin ini bukan yang pertama, sudah belasan jumlahnya dikamar, tak satupun kusuka, mungkin kalau semua kugunakan, cukup untuk menghias setiap jari ditubuh mulai dari tangan hingga kaki.
“oh…terima kasih..” aku menjawab datar, karena mesti bagaimana lagi..
sebentar berbasa-basi kemudian mama mempersilahkan candra masuk kedalam ruang tamu kami, candra hanya senyum-senyum, barangkali ia berpikir telah menaklukkan mama…huh, mungkin iya, tapi hati ku tidak!!dan tak akan.

aku masih suka pada lelaki sempurna dalam ketiadaannya dan ketulusannya menyayangi aku.

****
oke, disinilah aku sekarang, duduk didalam mobil dan mendengarkan cerita bergelimang harta oleh candra. “sayang, kemaren papah habis dari vietnam, kamu tau ga, saking papah kaget ngeliat gajah vietnam yang bisa masuk kota, papah kepengen beli tuh gajah buat di awetin, trus dipajang di ruang tamu rumah, hahahaha…” candra benar-benar garing, aku hanya tak mau mengecewakan mama hingga aku jalan dengannya. belum lagi cerita yang selalu diulang-ulang mengenai silsilah keluarganya yang merupakan keturunan raja di magelang dan kedekatan ayahnya dengan para pejabat.
aku bosan dan sedikitpun tidak mau menjadi bagian penting dalam hidupnya. dan satu lagi, perlu juga aku jelaskan bahwa aku bukan pacarnya, dan omongan sayang yang ia ucapkan telah berkali-kali kuprotes dan tetap tak diubah olehnya, hingga akhirnya aku lelah dan merelakan ia panggil begitu.

jujur, aku masih tak bisa melupakan lelaki paling biasa namun mengajarkanku banyak hal mengenai hidup, aku mencintai dia seadanya.

****
sudah pukul 10 malam saat mobil bergerak menuju belokan dekat rumahku dan di teras kulihat dia…
“apa..mama tidak mempersilahkan ia masuk sama sekali??” aku kaget dan bergumam cukup kencang di mobil karena tidak tega melihat ia berteman dengan nyamuk diteras redup kami, dan tak segelas air pun tersaji.
aku seketika turun dari mobil dan menghampirinya…
“jay…maaf, kamu kok engga masuk?” aku bertanya dengan rasa bersalah yang mendalam, jay ku…ia tak disenangi mama hanya karena ia orang biasa tanpa silsilah keluarga, belum lagi harta yang tak ia punya.

“engga apa-apa…aku sebenarnya ingin ngobrol dengan mama dan papa kamu…kulihat tangannya menggigil, ia pasti sudah kedinginan diluar teras cukup lama.
candra si sok kaya malah mencemooh “mas, sepedanya boleh digeser ga? bukannya saya ga mau nabrak, tapi saya ga mau mobil saya lecet”…sindiran paling tajam dan paling menyakitkan yang pernah kudengar, ingin menangis rasanya melihat jay dengan tenang menggeser sepedanya dan masih menunjukkan kesabaran…
aku bersumpah demi tuhan, tak akan menikahi lelaki moral tumpul macam candra…emosi ku tak tertahan juga akhirnya.

“MAMA…tega sekali jay engga disuruh masuk daritadi…kenapa sih ma?” aku sambil mengetuk pintu dan berteriak melawan. aku tak bisa menahan emosi..

“biarin aja dia diluar..ga pantes orang kampung diterima sama tante indri…” kalimat yang ‘manis’ dari candra si orang kaya nan miskin moral.

“mama cape, kamu suruh aja jay pulang…” mama kemudian menyahut dengan malas-malasan.
” maaf tante, saya cuma sebentar..” jay menjawab dengan pelan…
Aku ingin berteriak lebih kencang…”Ma…”
namun terputus ketika terdengar suara dari dalam sedang membuka pintu…

“silahkan nak jay…”…papa kemudian mempersilahkan jay masuk, aku kaget sekali, tak biasanya papa memperlakukan orang-orang terdekatku dengan seperti itu, papa lebih banyak diam ketiimbang memberi komentar mengenai hubungan pribadi ku, tidak seperti mama.
kemudian jay masuk serta candra duduk bersebelahan dengan papa. papa memang mengenalnya, namun sebatas itu saja, tak lebih… dan kalau aksi sok dekat yang candra lakukan pada papa, tentu itu improvisasinya…
“apa yang perlu dibicarakan nak jay…” papa bernada tenang.
“aku ingin menikahi rara pak..” jay menjawab dengan sedikit kegugupan..
“HAHAHA…om, jangan-jangan dia habis mabok atau kesambet setan waktu pake sepeda kesini. yang pasti tidak mungkin om..” candra menjawab dengan lantang dan angkuh.

lantas papa menjawab “aku yang harusnya menjawab, bukan kamu. karena bukan kamu yang membesarkannya”. jawaban itu sungguh dalam. dan raut muka candra berubah semerah-merahnya menahan malu dan marah karena mungkin ia baru kali ini direndahkan seperti itu.

“mengapa kamu mengatakannya sekarang?” papa bertanya dalam kapasitasnya sebagai seorang ayah. aku bingung, senang, sedih bercampur menjadi satu.
senang karena lelaki penyabar itu akhirnya benar ingin menikahiku, setelah 5 tahun hubungan kami tanpa disetujui mama, dan belasan lelaki kaya yang dikenalkan mama padaku. namun ia lewati semua itu dengan penuh sabar. aku pikir, dia lelaki sesungguhnya untukku.

ketika otakku sedang melayang, kembali kupusatkan konsentrasiku pada pembicaraan mereka:
“yang pertama karena aku mencintai rara, yang kedua karena aku yakin tak akan ada lelaki yang jauh lebih baik mendampinginya daripada aku, yang ketiga karena dia dan hanya dia yang bisa mengisi hari-hariku…” jawaban itu diberikan jay tanpa keraguan sedikitpun.

“aku bisa memberikan lebih dan aku bisa membuat om dan keluarga kaya raya…” dan candra akhirnya berbicara…

kemudian papa melihat candra cukup lama…dan berkata:
“keluarga ku lebih berharga dari harta, dan tak akan pernah pula tergadai karena harta…”
itulah jawaban yang membuat candra pergi.

didalam kamar terdengar suara mama: “pokoknya mama engga setuju kalo rara nikah dengan jay, dia itu engga punya apa-apa..mau ngasih makan apa nanti buat anak cucu kita pa?? papa sadar donk…”

jay hanya menunduk seolah malu dengan kondisi diri dan keluarganya yang miskin, aku sedih sekali mendengar ucapan mama. mama belakangan selalu mengecewakan, sejak papa pensiun dan penghasilan yang menurun drastis hingga kami tak bisa seperti dulu.

“ma..lantas kita akan menjual anak kita demi harta, begitu maksud mama??” papa berteriak kencang sekali.hingga mama hanya bisa diam. papa tidak pernah setegas itu sebelumnya. mama tak sanggup lagi melawan omongan sang kepala rumah tangga…

“karena aku bapaknya dan karena kamu tulus mencintai anakku, silahkan nikahi dia..” papa akhirnya menjawab, aku menangis terharu karena setelah sekian lama, akhirnya hubungan kami benar-benar direstui.
dan ternyata papa benar-benar mengerti siapa lelaki yang tepat untukku.

“oh ya, satu hal lagi pak…kalau bapak tidak keberatan, aku ingin menikahi rara 2 bulan lagi, karena terhitung maret aku akan melanjutkan beasiswa sekolah ke australia dan aku ingin mengajak rara ikut serta…”

“silahkan..”jawab papa, dan kini ia semakin yakin bahwa pilihannya tepat.

No comments: